Anakku
Anak Berkarakter
“IBU, AKU TIDAK MAU JADI PAHLAWAN, AKU MAU JADI ORANG YANG BERTEPUK TANGAN
DI TEPI JALAN.”
Di kelasnya ada 50 orang murid, setiap kenaikan kelas, anak perempuanku
selalu mendapat ranking ke-23. Lambat laun ia dijuluki dengan panggilan nomor
ini. Sebagai orangtua, kami merasa panggilan ini kurang enak didengar, namun
anehnya anak kami tidak merasa keberatan dengan panggilan ini.
Pada sebuah acara keluarga besar, kami berkumpul bersama di sebuah restoran.
Topik pembicaraan semua orang adalah tentang jagoan mereka masing-masing.
Anak-anak ditanya apa cita-cita mereka kalau sudah besar? Ada yang menjawab
jadi dokter, pilot, arsitek bahkan presiden. Semua orangpun bertepuk tangan.
Anak perempuan kami terlihat sangat sibuk membantu anak kecil lainnya makan.
Semua orang mendadak teringat kalau hanya dia yang belum mengutarakan
cita-citanya. Didesak orang banyak, akhirnya dia menjawab:..... "Saat aku
dewasa, cita-citaku yang pertama adalah menjadi seorang guru TK, memandu
anak-anak menyanyi, menari lalu bermain-main".
Demi menunjukkan kesopanan, semua orang tetap memberikan pujian, kemudian
menanyakan apa cita-citanya yang kedua. Diapun menjawab: “Saya ingin menjadi
seorang ibu, mengenakan kain celemek bergambar Doraemon dan memasak di dapur,
kemudian membacakan cerita untuk anak-anakku dan membawa mereka ke teras rumah
untuk melihat bintang”. Semua sanak keluarga saling pandang tanpa tahu harus
berkata apa. Raut muka suamiku menjadi canggung sekali.
Sepulangnya kami kembali ke rumah, suamiku mengeluhkan ke padaku, apakah aku
akan membiarkan anak perempuan kami kelak hanya menjadi seorang guru TK?
Anak kami sangat penurut, dia tidak lagi membaca komik, tidak lagi membuat
origami, tidak lagi banyak bermain. Bagai seekor burung kecil yang kelelahan,
dia ikut les belajar sambung menyambung, buku pelajaran dan buku latihan
dikerjakan terus tanpa henti. Sampai akhirnya tubuh kecilnya tidak bisa
bertahan lagi terserang flu berat dan radang paru-paru. Akan tetapi hasil ujian
semesternya membuat kami tidak tahu mau tertawa atau menangis, tetap saja
rangking 23.
Kami memang sangat sayang pada anak kami ini, namun kami sungguh tidak
memahami akan nilai sekolahnya.
Pada suatu minggu, teman-teman sekantor mengajak pergi rekreasi bersama.
Semua orang membawa serta keluarga mereka. Sepanjang perjalanan penuh dengan
tawa, ada anak yang bernyanyi, ada juga yang memperagakan kebolehannya. Anak
kami tidak punya keahlian khusus, hanya terus bertepuk tangan dengan sangat
gembira.
Dia sering kali lari ke belakang untuk mengawasi bahan makanan. Merapikan
kembali kotak makanan yang terlihat sedikit miring, mengetatkan tutup botol yang
longgar atau mengelap wadah sayuran yang meluap ke luar. Dia sibuk sekali
bagaikan seorang pengurus rumah tangga cilik.
Ketika makan, ada satu kejadian tak terduga. Dua orang anak lelaki teman
kami, satunya si jenius matematika, satunya lagi ahli bahasa Inggris berebut
sebuah kue. Tiada seorang pun yang mau melepaskannya, juga tidak mau saling
membaginya. Para orang tua membujuk mereka, namun tak berhasil. Terakhir anak
kamilah yang berhasil melerainya dengan merayu mereka untuk berdamai.
Ketika pulang, jalanan macet. Anak-anak mulai terlihat gelisah. Anakku
membuat guyonan dan terus membuat orang-orang semobil tertawa tanpa henti.
Tangannya juga tidak pernah berhenti, dia mengguntingkan berbagai bentuk
binatang kecil dari kotak bekas tempat makanan. Sampai ketika turun dari mobil
bus, setiap orang mendapatkan guntingan kertas hewan shio-nya masing-masing.
Mereka terlihat begitu gembira.
Selepas ujian semester, aku menerima telpon dari wali kelas anakku.
Pertama-tama mendapatkan kabar kalau rangking sekolah anakku tetap 23. Namun
dia mengatakan ada satu hal aneh yang terjadi. Hal yang pertama kali
ditemukannya selama lebih dari 30 tahun mengajar. Dalam ujian bahasa ada sebuah
soal tambahan, yaitu SIAPA TEMAN SEKELAS YANG PALING KAMU KAGUMI & APA
ALASANNYA.
Semua teman sekelasnya menuliskan nama : ANAKKU!
Mereka bilang karena anakku sangat senang membantu orang, selalu memberi
semangat, selalu menghibur, selalu enak diajak berteman, dan banyak lagi.
Si wali kelas memberi pujian: “Anak ibu ini kalau bertingkah laku terhadap
orang, benar-benar nomor satu”.
Saya bercanda pada anakku, “Suatu saat kamu akan jadi pahlawan”. Anakku yang
sedang merajut selendang leher tiba2 menjawab “Bu guru pernah mengatakan sebuah
pepatah, ketika pahlawan lewat, harus ada orang yang bertepuk tangan di tepi
jalan.”
“IBU, …..AKU TIDAK MAU JADI PAHLAWAN, …. AKU MAU JADI ORANG YANG BERTEPUK
TANGAN DI TEPI JALAN.”
Aku terkejut mendengarnya. Dalam hatiku pun terasa hangat seketika. Seketika
hatiku tergugah oleh anak perempuanku. Di dunia ini banyak orang yang
bercita-cita ingin menjadi seorang pahlawan. Namun Anakku memilih untuk menjadi
orang yang tidak terlihat. Seperti akar sebuah tanaman, tidak terlihat, tapi
ialah yang mengokohkan.
Jika ia bisa sehat, jika ia bisa hidup dengan bahagia, jika tidak ada rasa
bersalah dalam hatinya, MENGAPA ANAK2 KITA TIDAK BOLEH MENJADI SEORANG BIASA
YANG BERHATI BAIK & JUJUR…
(Cerita ini didapat dari sebuah post. Kami tulis ulang dengan beberapa
penambahan & pengurangan. Mudah2an bisa jadi inspirasi)